MENGUAK KEBISUAN
DARI KAMPUS KITA
Kita bias mengantar
orang memasuki universitas,
tetapi belum tentu bias membuatnya berfikir
(Finlley Fater Dunoe)
tetapi belum tentu bias membuatnya berfikir
(Finlley Fater Dunoe)
Kampus
seringkali dipandang sebagai sebuah institusi ilmiah yang di dalamnya budaya
dan tradisi intelektual tumbuh dan berkembang. Sehingga tidak mengherankan bila
kemudian mereka yang menjadi bagian darinya disebut sebagai kaum intelek yang
identik dengan pemikiran yang kritis, logis dan kreatif, termasuk mahasiswa.
Selama ini jamak diketahui bahwa mahasiswa seringkali dipandang sebagai sosok
yang begitu hebat. Ini bisa dilihat dari sejumlah sebutan yang dilekatkan pada
dirinya antara lain: kaum intelek, agent of change, agent of moral, calon
pemimpin bangsa dan sebagainya. Di
sisi lain sikap kritispun diidentikkan sebagai ciri dan bagian utama dari
mahasiswa.
Terlepas dari semua ”nama besar” yang disandangnya
tersebut, faktanya keberadaan kampus sendiri dewasa ini mendapat sorotan tajam dari
berbagai kalangan. Terkesan kampus tempat mencetak kebodohan organic yang di
paksakan kepada mahasiswa. Kemunculan jasa pembuatan skripsi dan tesis di
kalangan mahasiswa bukan hanya menambah citra buruk kualitas wajah pendidikan
kita. Malah memberi kesan output atau produk dari kampus tidak bisa
mempertanggung jawabkan apa yang sudah diperbuat oleh mahasiswa. Gejala itu
menunjukkan meluasnya komersialisasi dalam dunia pendidikan. Komersialisasi
bukan hanya dilakukan oleh institusi pendidikan dengan mematok biaya yang
tinggi dan menyebabkan biaya yang tinggi yang menyebabkan dunia pendidikan
diisi oleh kalangan berduit.seakan-akan orang miskin tidak memiliki peluang.
Dalam kasus jasa pembuatan skripsi dan tesis juga bisa di perluas dengan jasa
pembuatan makalah dan karya-karya ilmiah lainnya. Maka, terjadilah
komersialisasi karya dan proses akademik dengan tujuan untuk mengejar gelar dan
nilai secara instan. Terbukti bahwa budaya hedonisme mahasiswa tidak terletak
pada konsumsi saja, tetapi sudah berkembang pada karya-karya yang dianggap
menjadi tolak ukur mahasiswa pasca di kampus.
Keresahan Intelektual
Gejala jual-beli skripsi, tesis, dan lain sebagainya jelas menambah
citra buruknya kampus (Perguruan Tinggi) dan akan bertolak belakang dengan visi
kampus tersebut. Dewasa ini, kata “kampus” sering identik dan bersanding dengan
hal-hal yang menurut ukuran moralitas kurang baik. Seperti istilah “Ayam
kampus, dan sex in the kost”. Kemudian juga lingkungan kemahasiswaan yang
mengesankan kampus hanya berfungsi sebagai “tempat trendi-trendian” di kalangan
mahasiswa yang selalu sibuk dengan gaya hidup sebagaimana di pengaruhi oleh
budaya “pasar bebasa”. Mahasiswa hanya di cetak untuk membeli, dan tidak untuk
berproduksi terutama dalam makna berfikir dan berkreasi untuk menyelesaikan
masalah masyarakat.
Seharusnya kampus menjadi desain budaya bagi masyarakat sekitarnya,
justru menjadi korban dari intervensi budaya luar yang penuh kepentingan
(kapitalistis). Dalam kondisi seperti ini, tridarma perguruan tinggi
pengajaran, penelitian dan pengabdian yang seharusnya dijunjung oleh
masyarakat, kini menjadi sekedar jargon. Kampus yang telah tercatat sebagai
basis perjuangan melawan penindasan, kini hendak dipreteli idealismenya.
Orientasi pada modernisasi, bisnis dan stabilitas membuat kampus semakin
terpuruk. Inilah cermin kampus kita.
Manipulasi Proses dan Karya akademik
Dalam kasus jasa pembuatan sktipsi dan tesis, telah menjadi
komersialisasi karya dan proses akadenik dengan tujuan untuk mengejar gelar dan
nilai secara instan. Jika gejala budaya instan dalam dunia pendidikan
dilekatkan pada logika modernisasi kapitalis, maka jasa pembuatan skripsi dan
tesis dapat dilihat sebagai akibat dari bagaimana kapitalisme telah membentuk
karekter budaya di dunia kemahasiswaan. Semaraknya aktivitas budaya pasar seperti
kegiatan yang berbau hedonistic dan konsumtivistik semakin menjauhkan mahasiswa
dari aktivitas akademik – ilmiah. Dunia ilmiah terasa tidak lagi bermakna
karena segala sesuatu seakan telah melekat dalam logika pasar. Ada istilah “Lo
jual, gua beli” adalah dasar pikiran bahwa segala sesuatu menjadi tidak berarti
kecuali ternilai dengan uang.
Dewasa ini, sejak mahasiswa masuk kuliah bahkan mereka dihinggapi
pemahaman bahwa dunia pendidikan tidak lagi dianggap sebagai tempat mencari
ilmu. Hal itu dipertegas dengan tayangan- tayangan TV. Terutama dalam kisah
sinetron, bahkan kampus dan dunia pendidikan adalah tempat kaum muda merayakan
setatus kelasnya. Sekarang ini, terjadi kemalasan yang meluas dikalangan
mahasiswa untuk mengikuti kegiatan kuliah dan ilmiah. Ketika mendapat tugas
menulis makalah misalnya,mereka dapat meng-copy paste dari internet untuk
mengoplosnya agar karyanya terlihat lebih orisinil.
Kebanyaan mahasiswa paling banter menjalani aktifitas akademik formal,
rajin kuliah agar dengan tujuan cepat lulus. Kadang mereka malas dan takmau
berproses, tuntutan kuliah juga dipenuhi secara prakmatik, misal menghafalkan
bahan kuliah, nyontek, dan dalam menyusun karya ilmiah juga tidak dilakukan
secara serius. Bahkan, karya tulis juga dihasilkan dengan meng-copy paste dari
bahan yang sudah ada yang biasanya bisa diakses dari internet. Bahkan tidak
sedikit pula tugas karya tulis seperti paper, makalah, dan artiel juga
dibuatkan orang lain, bukan hanya teman, pacarnya ataupun kenalanya tetapi juga
pesan dari jasa pembuatan makalah dengan mengeluarkan biaya yang telah dipatok.
Ini adalah sebab-sebab kecil dimana ketika di ujung-ujung kelulusan mereka merasa
kesulitan dalam pembuatan skripsi atau tesis. Maka cara pragmatis untuk memesan
skripsi atau tesis dari orang atau pihak yang menawaran jasa.
Peran Lembaga dan Aparat Pendidikan
Sulit diragukan apakah lembaga pendidikan (kampus) tidak mengetahui
keberadaan jual beli skripsi dan tesis. Budaya akademis dicampus sendiri
tampaknya juga patut dipertanyakan. Bahkan, jual beli nilai juga tidak jarang
terjadi antara mahasiswa dan dosen. Dosen juga ada yang minta pungutan biaya
atas bimbingan sripsi kepada mahasiswa dan mempermudah kelulusan ujian skripsi
atau tesis apabila dijamin dengan uang (pelicin) sebesar jumlah tertentu. Maka
kita pantas mengacungi jempol pada Dosen yang sangat teliti melihat apakah
tugas karya tulis yang dikumpulkan mahasiswa adalah buatan sendiri atau sekedar
mencuplik secara vulgar. Kita juga layak memberikan apresiasi yang sama kepada
dosen kita yang serius dalam mendorong mahasiswa untuk aktif diskusi dikelas
dan merangsang serta membimbing mahasiswa menghasilkan tulisan yang berkualitas
secara ilmiah.
Meskipun tidak banyak kalangan dosen yang memiliki komitmen seperti itu,
posisi dan peran mereka sangat jelas dalam meningkatkan partisipasi aktif
mahasiswa dalam aktifitas ilmiah dan inlektualitas. Perbaikan dari dalam kelas
dan kampus, baik aturan akasemim maupun budaya ilmiah, tampaknya adalah
satu-satunya benteng pertahanan kampus sebagai lembaga yang mengabdikan diri
pada (proses) pencerahan dan pengabdian pada masyarakat yang dilandasi oleh
objektifitas dan bukan pada pragmatisme, oportunisme dan komersialisme.
Daftar Pustaka
Sayomukti, Nurani. 2008. Pendidikan Berspektif Globalisasi. Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA GROUP
Salim, Agus. 2007. Indonesia Belajarlah. Yogyakarta: Tiara Wacana
http://pmiisurakarta.blogspot.com/2009/12/budaya-bisu-dari-kampus.html
Tidak ada komentar:
Write komentar