|
DRAFT BARU
|
KODET LAMA
|
CPA
|
BAB VII
|
Biaya Jasa
dan Praktik Psikologi
|
||
Pasal 33
Penjelasan Biaya dan Batasan
33.1
33.2
33.3
33.4
33.5
|
Pemberian imbalan atas jasa dan atau praktik psikologi
yang sesuai dengan keahlian dan kewenangan dengan tetap mengutamakan
dasar-dasar professional.
Menjelaskan tentang hak dan kewajiban masing-masing
pihak, termasuk biaya jasa dan atau praktik psikologi. Juga dijelaskan bahwa
besaran biaya harus disesuaikan dengan standar yang pantas dalam masyarakat.
Penggunaan berbagai macam cara termasuk hukum untuk
mendapatkan imbalan atas jasa atas sepengetahuan klien apabila klien menolak
memberikan imbalan seperti yang disepakati.
Pada pasal ini penggunaan kata “berbagai macam cara”
terkesan ambigu. Dengan menyebutkan jenis-jenis cara yang boleh dipergunakan
akan memperjelas maksud pasal.
Catatan yang diperlukan untuk penanganan darurat akan
diberikan oleh psikolog dan atau ilmuwan psikologi walaupun imbalan belum
dberikan.
Ketidaksediaan psikolog dan atau ilmuwan psikologi
dalam menerima pekerjaan yang melanggar kode etik maupun menerima imbalan
atas pekerjaan tersebut.
Keterlibatan psikolog dan atau ilmuwan psikologi dalam
pemberian jasa dan atau praktik psikologi secara sukarela sebagai bentuk
kepedulian terhadap masyarakat.
Sebelumnya hal ini tidak dijelaskan pada kodet lama.
Pasal ini menjadi penting agar psikolog dan atau ilmuwan psikologi juga
bersedia melakukan jasa dan atau praktik secara sukarela demi kepentingan
masyarakat maupun profesi.
|
Termasuk
dalam pasal 8 tentang SIKAP PROFESIONAL DAN PERLAKUAN TERHADAP PEMAKAI JASA
ATAU KLIEN.
Terdapat
dalam penjelasan pasal 8(d).4 mengenai kejelasan prosedur, manfaat, dan
besarnya atau bentuk imbalan. Pada pasal 8.4.1 juga disebutkan mengenai
kesepakatan tentang kompensasi dan pengaturan penagihan.
Terdapat
dalam penjelasan pasal 8.4.1 (f) tentang hal yang sama. Namun pada kodet lama
lebih dijelaskan tentang cara yang digunakan, misalnya dengan menggunakan
jasa kolektor.
Dalam
kodet lama tidak dijelaskan mengenai penggunaan hasil pemeriksaan untuk
penanganan darurat. Tetapi dijelaskan bahwa apabila memang catatan tertentu
diperlukan untuk keperluan hukum maupun hal lain, maka ilmuwan psikologi dan
psikolog dapat memberikannya dengan atau tanpa sepengetahuan klien. Juga
disebutkan bahwa pengungkapan ini tidak dilakukan untuk mendapatkan imbalan.
(Pasal 12.2.1(e)).
Tidak
dijelaskan dalam kodet lama mengenai ketidaksediaan dalam menerima pekerjaan
yang melanggar kode etik. Tetapi disebutkan bahwa psikolog atau ilmuwan
psikolog tidak boleh menerima imbalan apabila berpotensi menciptakan konflik,
eksploitasi dan distorsi atas hubungan professional. (Pasal 8.4.2).
Tidak
dijelaskan dalam kodet lama.
|
Disebutkan
dalam prinsip I.15 tentang pemberian imbalan yang sesuai dengan waktu, tenaga
dan pengetahuan yang diberikan oleh psikolog dan disesuaikan dengan standar
yang ada pada masyarakat.
Penjelasan
tentang hak dan kewajiban masing-masing pihak pada CPA disebutkan pada bagian
informed consent prinsip I.16,
walaupun tidak disebutkan secara langsung mengenai biaya yang diberikan.
Penjelasan mengenai pemberian biaya disebutkan dalam prinsip I.15. Selain itu
prinsip III.14 juga menyebutkan bahwa
hal-hal yang termasuk dalam informed
consent harus diperjelas, salah satunya adalah tentang biaya.
Penjelasan
mengenai hal ini tidak disebutkan secara eksplisit pada CPA, tetapi dapat
terlihat pada prinsip III.14 mengenai kejelasan tentang informed consent yang didalam nya termasuk masalah biaya dan cara
pembayaran.
Seperti
pada kodet lama, pada CPA hanya menjelaskan bahwa hasil pemeriksaan boleh
digunakan atas seijin klien dengan tetap menjunjung azas kerahasiaan kecuali
untuk kepentingan hukum atau ketika dalam situasi yang memungkinkan timbulnya
bahaya fisik maupun kematian (pada prinsip I mengenai privacy dan confidentiality).
Sedangkan untuk masalah biaya yang belum dibayarkan tidak dijelaskan.
Dalam
CPA tidak disebutkan tentang menerima pekejaan yang melanggar kode etik,
namun disebutkan dalam prinsip I.6 dan prinsip II.4 tentang ketidaksediaan
untuk memberikan saran, pelatihan maupun informasi apapun apabila ada
kemungkinan akan digunakan untuk hal yang membahayakan orang lain.
Dalam
CPA prinsip IV.12 disebutkan bahwa demi kepentingan masyarakat maupun
kepentingan profesi, psikolog bersedia memberikan waktunya untuk pelayanan
walaupun mereka tidak akan menerima imbalan.
|
Pasal 34
Rujukan dan Biaya
|
Pasal ini merupakan pasal baru yang tidak
tercantum pada Kode Etik Psikologi yang lama sebagai pasal yang berdiri
sendiri. Pasal ini mengatur tentang pedoman pembagian biaya dalam hal
rujukan.
Dalam kaitan ilmu dan profesi psikologi yang
makin berkembang, sehingga memungkinkan kerjasama lintas bidang keilmuan,
pasal ini perlu dikemukakan sebagai pasal yang berdiri sendiri. Sebagai draft
baru maka penjelasan-penjelasan mengenai aspek-aspek yang berkaitan
pembiayaan dan rujukan perlu dikemukakan lebih lanjut pada Pedoman
Pelaksanaan pasal ini.
|
Dalam Kode Etik Psikologi yang lama isi pasal 34
tercantum pada Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Psikologi Indonesia pasal 8.4.1.
(Penerimaan imbalan Jasa) poin h. Dalam pasal 8.4.1.h. dijelaskan bahwa
terdapat pengecualian yaitu dalam hubungan karyawan dan majikan, maka pembayaran
dilakukan atas jasa yang diberikan (klinis, konsultasi, atau lainnya).
Masalah pengecualian ini tidak dijelaskan secara eksplisit pada pasal 34.
Agar tidak menimbulkan salah pengertian antara pengertian rujukan dan
hubungan majikan karyawan, maka diperlukan penjelasan mengenai pengecualian
tersebut pada penjelasan pasal draft baru.
|
Dalam CPA permasalahan rujukan dan biaya tidak
dijabarkan secara khusus namun di atur dalam prinsip I.12 – I.15 yaitu
prinsip Fair treatment/due process terutama
prinsip I.14 dan I.15 yang berisi tentang kompensasi yang adil ketika bekerja
sama dengan orang lain. Sebaiknya dalam draft baru ini ditambahkan prinsip
atau nilai yang harus dijunjung dalam hal rujukan dan biaya, yaitu prinsip
berlaku adil.
|
Pasal 35
Keakuratan Data dan Laporan Kepada Pembayar atau Sumber Dana
|
Pasal ini sebelumnya tidak dicantumkan sebagai
pasal yang berdiri sendiri pada Kode Etik Psikologi yang lama. Mengingat
minat masyarakat pada jasa dan praktik psikologi yang makin meningkat, maka
kemunculan pasal ini sebagai pasal yang berdiri sendiri terpisah dari Pasal
Sikap Profesional Dan Perlakuan Terhadap Pemakai Jasa atau Kilen sangat
diperlukan.
Kemunculan pasal ini sebagai pasal yang berdiri
sendiri menekankan pentingnya isu terkait pelaporan hasil jasa/praktik
psikologi pada klien. Sebagai penjelasan pasal ini akan lebih baik bila
dicantumkan isi pasal 13 Kode Etik yang lama (Pencantuman Identitas Pada
Pelaporan Hasil Pemeriksaan Psikologis), yaitu kewajiban untuk membubuhkan
tanda tangan, nama jelas, dan nomor izin praktik sebagai bukti pertanggung
jawaban.
|
Dalam Kode Etik Psikologi yang lama isi pasal 35
ini dikemukakan pada Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Psikologi Pasal 8.4.1.g
(Penerimaan Imbalan Jasa). Pada pasal lama dicantumkan kemungkinan
diperlukannya mencantumkan identitas pemberian jasa, hasil kerja, diagnosis
bila diperlukan, sesuai dengan kondisi dan kebutuhan, sejauh tidak menyalahi
aturan dan ketentuan yang berlaku, baik menurut etika dan hukum. Selain itu
dicantumkan juga perlu diperhatikannya unsur kerahasiaan yang harus dijaga
dan dihormati. Perlu dipertimbangkan untuk mencantumkan kembali pada pasal
yang 35 yang baru ini, sebagai penjelasan pasal.
|
Dalam CPA masalah keakuratan data dan laporan kepada
pembayar atau sumber dana tidak dibahas secara spesifik namun tertuang pada prinsip akurasi dan
objektivitas. Akan lebih baik jika dalam pasal ini ditambahkan acuan prinsip
atau nilai yang digunakan dalam hal memberikan data dan laporan pada pembayar
jasa atau sumber dana seperti yang telah tercantum pada pasal 2 (Prinsip
Umum), yaitu prinsip Integritas dan Tanggung Jawab.
|
Pasal 36
Pertukaran
(Barter)
|
Pasal ini berisi tentang
diperbolehkannya Psikolog dan atau ilmuwan psikologi menerima benda atau
imbalan non uang dari pengguna jasa dan atau praktik psikologi sebagai
imbalan atas pelayanan psikologi yang diberikan hanya jika tidak bertentangan
dengan kode etik dan pengaturan yang dihasilkan tidak eksploitatif.
Pasal ini mengangkat
kemungkinan dalam praktik di lapangan bahwa pengguna jasa dapat menawarkan
pada psikolog untuk menerima benda atau imbalan non uang.
|
Pasal ini tidak dikemukakan
secara langsung pada Kode etik yang lama. Namun secara implisit terkandung
pada pasal 8.4.1.a yang menegaskan
bahwa pada awal terjadinya hubungan profesional dan ilmiah ilmuwan psikologi
dan psikolog sudah mencapai kesepakatan yang menjabarkan kompensasi dan
pengaturan penagihan. Namun untuk menghindari ketidakpuasan yang muncul dari
pihak pengguna jasa dan ilmuwan psikologi dan psikolog, maka perlu
ditambahkan bahwa imbalan non uang atau benda ini sudah disepakati sebelum
pelayanan jasa diberikan. Perlu ditegaskan bahwa imbalan non uang atau benda
ini adalah sebagai ganti biaya jasa dan bukan sebagai hadiah. Perlu
ditegaskan bahwa apakah ilmuwan psikologi atau psikolog diperbolehkan
untuk meminta imbalan non uang atau
benda tertentu walaupun dalam kasus
klien tidak mampu membayar layanan jasa dan secara sukarela menawarkan
imbalan jasa dalam bentuk lain, seperti yang telah dijelaskan pada pasal 8.4.1.e
Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Psikologi Indonesia.
|
Dalam CPA permasalahan barter atau
pertukaran tidak dijabarkan secara
khusus namun di atur dalam prinsip I.12 – I.15 yaitu prinsip Fair treatment/due process terutama
prinsip I.14 dan I.15 yang berisi tentang kompensasi yang adil ketika bekerja
sama dengan orang lain. Sebaiknya dalam draft baru ini ditambahkan prinsip
atau nilai yang harus dijunjung dalam hal pertukaran dan barter, yaitu
prinsip berlaku adil.
|
Kajian BAB
VII
Bab ini menekankankan pada pembahasan mengenai
biaya terhadap jasa praktik psikologi yang dilakukan oleh psikolog dan atau
ilmuwan psikologi. Hal-hal yang dibahas terdiri dari besaran biaya yang
diberlakukan dan berbagai macam cara pembayaran yang diperbolehkan. Pada bab
ini terdapat suatu bahasan baru pada pasal 33 ayat 5 yaitu dimana psikolog
dan atau ilmuwan psikolog dianjurkan untuk memberikan praktik psikologi
secara sukarela untuk kepentingan masyarakat. Pasal ini di dukung oleh pasal
36 yang membahas mengenai barter, dimana kebijakan baru bahwa psikolog dan
atau ilmuwan psikolog diperbolehkan untuk menerima benda atau imbalan non
uang sebagai pembayaran atas jasa praktek psikologi yang diberikan sehingga
menegaskan bahwa pekerjaan psikolog tidak hanya menekankan untuk mencari
imbalan berupa uang tetapi juga berperan dalam mensejahterakan masyarakat.
|
|||
BAB VIII
|
Pendidikan
dan Pelatihan
|
||
Pasal 37
Rancangan
dan Penjabaran Program Pendidikan dan Pelatihan
(1)
(2)
|
Penjabaran mengenai tanggung
jawab psikolog dan ilmuwan psikolog
dalam mengadakan langkah-langkah yang tepat dalam pendidikan dan pelatihan,
diantaranya adalah memastikan standar kelayakan program dalam menambah
pengetahuan bagi klien. Selain itu juga memastikan pendidikan dan pelatihan
memenuhi kebutuhan surat ijin, sertifikasi atau tujuan lain yang dimaksud
untuk program tersebut.
Penjelasan bahwa psikolog
dan ilmuwan psikolog juga memastikan penjabaran rencana pendidikan dan
pelatihannya secara tepat.
Pasal ini sebelumnya bukan
merupakan pasal yang berdiri sendiri, karena ia terdapat dalam pedoman
penjelasan kode etik versi lama. Pada draft kode etik yang baru, pasal ini
berdiri sendiri sehingga memudahkan untuk dibaca dan dipahami.
|
Terdapat dalam pedoman
penjelasan kodet etik pasal 7.2.1.a, yaitu psikolog dan ilmuwan psikolog
wajib mengembangkan desain program pengajaran, pelatihan, dan pendidikan.
Desain tersebut menggambarkan kemampuannya dan disesuaikan dengan persyaratan
yang berlaku, sertifikasi, atau tujuan lainnya yang ditentukan oleh program.
Terdapat dalam penjelasan
kode etik pasal 7.2.1.b yaitu program pengajaran, pelatihan, pendidikan harus
diuraikan dalam bentuk informasi agar dapat menjadi pegangan bagi pihak yang
menggunakannya.
|
Terdapat dalam prinsip
III.5, yaitu menjabarkan secara akurat mengenai aktivitas, fungsi, kontribusi
sert ahasil penelitian yang dilakukan.
Terdapat pada prinsip III.6,
yaitu memastikan rancangan aktivitas-aktivitas yang akan dilakukan, termasuk
didalamnya hal-hal yang dihasilkan dari aktivitas tersebut.
|
Pasal 38
Keakuratan
Dalam Pengajaran
|
Pasal ini menjelaskan bahwa
psikolog dan ilmuwan psikolog dalam mengambil langkah dalam pendidikan dan
pelatihan harus berdasarkan perkembangan kemajuan pengetahuan yang ada.
Pasal ini sudah dibahas
dalam pedoman penjelasan kode etik versi lama dan CPA. Akan lebih baik bila
ditambahkan keterangan seperti dalam CPA bahwa perkembangan pengetahuan harus
diikuti oleh psikolog dan ilmuwan psikologi agar dapat mendatangkan
keuntungan dan tidak merugikan pihak lain.
|
Terdapat pada pasal 7.2.1.e,
yaitu psikolog dan ilmuwan psikologi bertanggung jawab atas akurasi dan
tujuan pengajaran, pelatihan dan pendidikan yang diselenggarakannya.
|
CPA membahas keakuratan
dalam pelaksanaan pelayanan psikologi dengan lebih luas (pada prinsip II,
bagian akurasi). Namun lebih spesifik lagi, dalam hal psikolog harus
mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan terdapat dalam prinsip II.9, yaitu
psikolog dan ilmuwan psikolog selalu mengikuti mengembangkan pengetahuannya
sesuai dengan perkembangan yang ada melalui berbagai macam metode (literatur
yang relevan, diskusi sesama rekan seprofesi, dan atau melanjutkan ke jenjang
pendidikan yang lebih tinggi). Hal ini dilakukan agar dapat mendatangkan
keuntungan dan tidak mendatangkan kerugian bagi pihak lain.
Hal tersebut juga dibahas
pada prinsip III.4, yaitu senantiasa mengembangkan kompetensi di area
psikologi dimana ia beraktivitas.
|
Pasal 39
Pengungkapan
Informasi Pribadi Peserta Pendidikan
dan Pelatihan
(1)
(2)
|
Penjelasan bahwa psikolog
dan ilmuwan psikologi tidak meminta peserta pendidikan dan pelatihan untuk mengungkapkan informasi
pribadi tertentu
Penjabaran bahwa informasi
yang bersifat sangat pribadi dapat dipastikan manfaatnya secara maksimal dan
dapat dicegah dampak negatifnya serta terjaga kerahasiaannya.
Pasal ini sebelumnya sudah
di bahas pada pedoman penjelasan kode etik versi lama. Namun dalam draft kode
etik versi baru tidak dijelaskan lagi mengenai hal-hal yang harus dipatuhi
seperti pada kode etik versi lama.
|
Terdapat pada pasal 12.1.d,
yaitu psikolog dan ilmuwan psikologi menjaga kerahasiaan klien yang berkaitan
dengan pengurusan data-data dalam pemberian jasa psikologi dengan
memperhatikan kaidah hukum.
Terdapat pada pasal 12.2,
yaitu psikolog dan ilmuwan psikologi wajib memegang teguh rahasia yang
menyangkut klien. Hal-hal yang harus dipatuhi adalah memberikan hanya kepada
pihak yang berwenang mengetahuinya, dapat didiskusikan hanya dengan
orang-orang atau pihak yang secara langsung berwenang atas diri klien atau
pemakai jasa, dapat dikomunikasikan dengan bijaksana secara lisan atau
tertulis kepada pihak ketiga hanya bila pemberitahuan ini diperlukan untuk
kepentingan klien, profesi dan akademisi namun identitas klien yang
bersangkutan tetap dirahasiakan.
|
Terdapat dalam prinsip I.39
bahwa mencatat informasi tertentu yang bersifat pribadi sesuai dengan
ketentuan dan atau hukum yang berlaku.
Terdapat dalam prinsip
IV.17, yaitu selalu mematuhi hukum yang berlaku dalam melakukan aktivitas
sebagai psikolog dan pada prinsip
IV.18, yaitu senantiasa mengkonsultasikan pada klien mengenai kewajiban untuk
mematuhi hukum dan kode etik yang berlaku dalam pelaksanaan kegiatan, kecuali
dalam keadaan yang sangat darurat dan mendapatkan persetujuan dari berbagai
pihak dan kegiatan tersebut merupakan jalan satu-satunya untuk menyelesaikan
permasalahan yang dihadapi.
|
Pasal 40
Kewajiban
Peserta Pendidikan dan Pelatihan untuk Mengikuti Program Pendidikan Terapi
yang Disyaratkan
|
Menjelaskan mengenai pemberian terapi
pada pelaksanaan pendidikan dimana pemberian terapi tersebut diberikan oleh
praktisi atau ahli terapi yang tidak terlibat dengan program pengajaran
tersebut, sedangkan pengajar yang bertanggung jawab atas evaluasi dan
prestasi akademik mahasiswa tidak boleh memberikan terapi yang disyaratkan
dalam pengajaran.
Judul pasal ini berbeda dengan penjelasan
pasal sehingga menyebabkan kebingungan dalam memahaminya. Penjelasan pasal
tidak mencantumkan tentang kewajiban peserta pendidikan dan pelatihan,
melainkan kewenangan psikolog dan ilmuwan psikologi yang memiliki tanggung
jawab dalam menyusun program pelatihan dan pendidikan.
Pasal ini sebelumnya tidak dibahas pada
kode etik lama. Dengan adanya pasal ini akan membantu dalam menjelaskan area
tanggung jawab psikolog dan ilmuwan psikologi yang memiliki wewenang dalam
menyusun terapi pada suatu program atau pengajaran. Informasi lainnya yang
dapat dicantumkan dalam pasal ini adalah apakah psikolog dan ilmuwan
psikologi memiliki hak dalam mengajar terapi yang disyaratkan, terutama dalam
keadaan tertentu, seperti tidak tersedianya praktisi atau psikolog lainnya
yang berkompeten dalam terapi tersebut. Apakah situasi ini diperbolehkan atau
tidak. Oleh sebab itu, perlu diberikan penjelasan lebih lanjut mengenai
sejauh mana keterlibatan psikolog dan ilmuwan psikologi baik yang menyusun
terapi atau yang akan memberikan terapi tersebut.
|
Belum menjelaskan hal-hal yang berkaitan
dengan pasal ini. Penjelasan lebih menekankan pada pasal 7 mengenai pelaksanaan
kegiatan sesuai batas keahlian/kewenangan, khususnya pada sub pasal 7 b
mengenai menghormati hak orang/lembaga/organisasi/institusi lain (hal 43;
7.2. pasal 7 b; 7.2.1).
Dalam pasal ini dijelaskan bahwa wewenang
psikolog dan ilmuwan psikologi dalam mengembangkan, menyusun dan melaksanakan
program pendidikan, pelatihan dan pengajaran dimana dalam harus sesuai dengan
kemampuan, kompetensi dan sertifikasi yang dimilikinya. Sub pasal ini belum
menjelaskan mengenai aturan mengenai pemberian terapi dalam suatu program
atau pengajaran.
|
Belum mencantumkan pasal yang serupa seperti di draft kode
etik baru. Namun, pada prinsip 1 mengenai respect for the dignity of persons
(menghormati kehormatan orang lain) pada salah satu sub pasalnya yang
menjelaskan bahwa psikolog harus bersikap adil dalam mencari desain riset,
kegiatan mengajar, praktisi dan bisnis secara adil dalam memberikan manfaat
pada individu dan kelompok dan tidak membahayakan atau merugikan mereka (hal
10; I.11).
|
Pasal
41
Penilai
Kinerja Peserta Pendidikan dan Pelatihan atau Bawahan
(1)
(2)
|
Pasal ini menjelaskan mengenai psikolog
dan ilmuwan psikolog yang memiliki tanggung jawab dalam melakukan penilaian
pada mahasiswa yang dibimbingnya atau bawahan yang disupervisi olehnya.
Penilaian tersebut harus ditetapkan dalam proses yang spesifik dan berjadwal.
Pasal ini menjelaskan mengenai dalam
melakukan evaluasi kinerja mahasiswa, orang yang disupervisi dan bawahan berdasarkan
pada persyaratan yang relevan dan telah ditetapkan sebelumnya.
Pasal ini tidak menjelaskan mengenai
hal-hal lain yang berkaitan dengan pelaksanaan evaluasi pada mahasiswa,
seperti proses membangun hubungan yang kondusif dalam melakukan penilaian. Penjelasan
ini dicantumkan pada kode etik lama sehingga dapat membantu psikolog dan
ilmuwan psikologi dalam melakukan evaluasi.
|
Pasal ini telah dimasukkan ke dalam kode
etik lama pada pasal 7 pelaksanaan kegiatan sesuai batas keahlian/kewenangan
(hal 46; i)yang menjelaskan mengenai evaluasi yang dilakukan oleh psikolog
dan ilmuwan psikologi pada peserta didikan atau orang yang dibimbingnya
berdasarkan kinerjanya secara nyata dan ada relevansinya dengan persyaratan
yang ditentukan oleh program. Dalam pasal 7 ini pada sub bab h (hal 46) juga
dijelaskan mengenai psikolog dan ilmuwan psikologi membangun hubungan yang
kondusif dalam mendukung dilakukannya evaluasi peserta didikan atau orang
yang dibimbingnya.
|
Tema yang serupa pada pasal ini dibahas
pada prinsip 1 mengenai respect for the dignity of persons (menghormati
kehormatan orang lain) yang pada salah satu sub pasalnya menjelaskan bahwa
psikolog membantu dalam menyusun dan dilaksanakan pada proses yang adil atau
prosedur lainnya yang adil mengenai kepegawaian, evaluasi, pengambilan
keputusan, tajuk rencana dan review kegiatan dari rekan seprofesi (hal 10;
I.13). Selain itu, pada prinsip 2 mengenai responsible caring (perhatian yang
bertanggung jawab) pada salah satu sub pasalnya menjelaskan bahwa psikolog
memfasilitasi pengembangan yang ilmiah dan profesional pada pekerja,
mahasiswa, peserta didikan dan orang yang disupervisi dengan menyediakan
salah satunya evaluasi yang teratur (hal 18; II.25).
|
Pasal
42
Keakraban
Seksual Dengan Peserta Pendidikan dan Pelatihan atau Orang yang Disupervisi
(1)
(2)
|
Pasal ini menjelaskan dilarangnya
psikolog dan ilmuwan psikologi untuk terlibat dalam keakraban seksual dengan
peserta didik, bawahan yang disupervisi atau dengan orang yang bekerja dalam
institusi yang sama dengan psikolog dan ilmuwan psikologi.
Pasal ini juga menjelaskan bahwa jika hal
tersebut terjadi karena berbagai hal, maka tanggung jawab psikolog dan
ilmuwan psikologi harus dipindahkan kepada psikolog lain yang memiliki
hubungan yang netral dimana hal ini bertujuan untuk menjaga keobjektifan dan
meminimalkan kemungkinan-kemungkinan negatif pada semua pihak yang terlibat.
Istilah keakraban seksual pada pasal ini
belum dijelaskan secara spesifik sehingga menimbulkan pemahaman yang berbeda.
Selain itu, gambaran yang spesifik tersebut akan membantu psikolog dan
ilmuwan psikologi dapat mengidentifikasi dengan tepat perilaku-perilaku yang
tergolong ke dalam keakraban seksual.
|
Menjelaskan penggambaran situasi hubungan
kerja yang diperbolehkan pada profesi psikolog dan ilmuwan psikologi
dijelaskan pada pasal 8 mengenai sikap profesional dan perlakuan terhadap
pemakai jasa atau klien (hal 60), terutama pada sub pasal mengenai hubungan
yang mengandung unsur eksploitasi (hal 67-68; 8.3.5). Dalam sub pasal ini
psikolog dan ilmuwan psikologi dilarang melakukan eksploitasi pada mahasiswa
yang dibimbingnya dan dilarang terjadinya hubungan seksual dengan pribadi
yang mereka supervisi, evaluasi atau di bawah wewenang mereka. Namun,
bentuk-bentuk eksploitasi tidak dijelaskan secara spesifik sehingga juga
menyebabkan pemahaman yang berbeda.
Dijelaskan dalam pasal 6 mengenai
hubungan dengan profesi lain, pada sub pasal 6.2 (hal 40-41) mengenai
permintaan jasa pihak ketiga yang dilakukan jika psikolog dan ilmuwan psikologi
melibatkan jasa ketiga dalam memberikan jasa kepada kliennya. Sedangkan
mengenai pelanggaran dijelaskan pada pasal 17 (hal 21) hanya dijelaskan
secara umum, tidak spesifik sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan.
Dengan merujuk pada kode etik lama apakah
keakraban seksual termasuk ke dalam eksploitasi yang dijelaskan pada sub
pasal di atas. Perbedaan istilah ini sebaiknya dijelaskan untuk menyamakan
pemahaman pengguna kode etik. Padahal tema tentang eksploitasi telah dibahas
pada draft kode etik baru pada bab IV mengenai hubungan antar manusia.
|
Dibahas pada prinsip 2 mengenai
responsible caring (perhatian yang bertanggung jawab) pada sub pasal II. 28
(hal 18) yang menyebutkan psikolog dilarang untuk mengajak atau mendorong
terjadinya sexual intimacy (keakraban seksual)pada mahasiswa atau peserta
didikan yang dievaluasi atau dibawah wewenang psikolog. Namun, tidak
dijelaskan secara spesifik mengenai gambaran sexual intimacy.
|
Kajian BAB VIII
Bab ini sangat membantu dalam menjelaskan
kode etik pada pelaksanaan pendidikan dan pelatihan dimana saat ini area
tersebut sangat melibatkan peran psikolog dan ilmuwan psikologi. Dengan
adanya bab ini, psikolog dan ilmuwan psikologi dapat mengetahui sejauh mana
wewenang yang dapat mereka lakukan dalam pendidikan dan pelatihan yang sesuai
dengan kode etik. Penjelasan bab ini lebih menekankan pada pelaksanaan
pendidikan dan pelatihan yang terkait dengan jasa yang dapat diberikan oleh
psikolog dan ilmuwan psikologi. Mungkin dapat ditambahkan mengenai
pelaksanaan program pendidikan yang tidak termasuk dalam jasa yang diberikan
oleh psikolog dan ilmuwan psikologi. Apakah hal ini juga butuh untuk
dijelaskan dalam kode etik, mengingat kenyataan di lapangan, terdapat
psikolog dan ilmuwan psikologi yang memberikan topik selain terapi. Selain
itu, bagaimana dengan pelaksanaan psikolog dan ilmuwan psikologi yang
memberikan jasa di pendidikan dan pelatihan yang tidak sesuai dengan
kompetensi, pengalaman dan sertifikasi yang dimilikinya. Tak hanya pada aspek
perancangan, melainkan pada aspek pihak yang memberikan topik pendidikan dan
pelatihan tersebut. Dengan demikian, pelanggaran kode etik yang diakomodasi
oleh pasal ini tidak hanya mengenai keakraban seksual, melainkan juga
mengenai pelaksanaan pendidikan dan pelatihan itu sendiri.
|
Selasa, 03 September 2013
kode etik psikologi bab vii biaya jasa dan praktik psikologi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
kolomnya kepotong, bisa ada yg gak kepotong? buat tugas nih...makasih
BalasHapus