Oleh Hisyam Burhanudin (naskah sesuai dengan aslinya)
ANGGE-ANGGE ORONG-ORONG
ora melu nggawe melu momong (tidak ikut berhubungan intim tetapi ikut mengasuh anak hasil hubungan intim dengan orang lain) - sebuah cuplikan lagu berbahasa jawa
ora melu nggawe melu momong (tidak ikut berhubungan intim tetapi ikut mengasuh anak hasil hubungan intim dengan orang lain) - sebuah cuplikan lagu berbahasa jawa
Pemuda itu bernama Barinding Malau, dari namanya kita bisa menebak dia berasal dari kota Medan. Tajir, gaul, funky, smart, cool, and ciut, itulah perangainya. Maklumlah ayahnya adalahadalah dirut Pertamina. Karenanya teman-teman memanggilnya si raja minyak dari Medan. Dia kos di samping kamarku, tapi tak seperti anak kos pada umumnya yang hidup dengan prihatin, dia sangat gelamor dan termanjakan dengan materi.
Begitu juga dalam perihal asmara, saking banyaknya wanita yang pernah ia pacari, sampai-sampai ia lupa berapa ratus wanita yang pernah ia pacari. Bahkan hampir semuanya pernah ia tiduri. Wouw, benar-benar “Penjahat Kelamin” kelas kakap. Siapa sih wanita yang bisa menolak saat barinding mengajaknya ngedate, ngeroom, atau jeng-jeng dengan sedan mewahnya?, terlebih ia tak segan-segan mengeluarkan kocek jutaan rupiah saat memanjakan teman kencannya dengan mentraktirnya shooping sebagai kompensasi atas kesenangan yang diberikan wanita-wanita itu.
Pengalaman barinding ini menjadi menarik, saat ternyata ia dipaksa oleh keadaan harus bertaubat setelah terkena batunya. Barinding terjebak harus bertanggung jawab atas bayi yang dikandung wanita yang tidak jelas siapa ayahnya. Wanita itupun menjebak barinding dengan merayu dan mengajaknya tidur, lalu sebulan kemudian wanita itu menuntut agar dinikahi barinding karena dia mengaku mengandung janin barinding.
Malam itu seperti biasa sehabis sholat maghrib aku membaca alqur’an di kamar kosku. Tapi ada yang berbeda malam ini; biasanya saat aku membaca alqur’an barinding sengaja mengeraskan permainan gitarnya di depan kamarnya yang bersebelahan dengan kamarku. kali ini barinding hanya diam terpaku, menyandarkan tubuhnya di pintu kamarku, seolah turut menyimak ayat demi ayat setiap lantunan qur’an yang kulafalkan. Dan setelah selesai membaca qur’an, kusapa dia:
“Ada apa nding?, mana gitarmu?, kenapa tidak kau petik senarnya?”.
“Maafkan aku ustadz, jika nada-nada gitarku kemarin-kemarin mengganggu kekhusyukanmu membaca kitab. Aku hanya berfikir mungkin lebih asik saat diiringi musik sebagaimana pujian-puian kami kepada Tuhan saat kebaktian dan misa di gereja”. Jawab barinding.
“Membaca alqur’an sembari diiringi petikan gitar?, Ohhh…, yang demikian itu tidak ada dalam ajaran agama kami. Tapi nggak apa-apa kok, yang penting kita saling toleransi ajja. Aku nggak pernah merasa terganggu dengan hobbymu bermain gitar, dan semoga kamu juga tidak merasa terganggu saat aku mengaji”. Jelasku.
Barinding manggut-manggut, tapi sepertinya ada hal yang lebih penting yang ingin ia bicarakan padaku:
“Aku sedang galau ustadz, aku sedang dilanda masalah berat dan hanya kamu sahabat yang kupercaya untuk berkeluh-kesah. Apakah ustadz keberatan membantuku?”.
“Barinding sahabatku, seperti baru kemarin sore saja kita saling kenal. Ayo ceritalah, nggak usah sungkan-sungkan”. Ku ambilkan barinding air mineral kemasan gelas, dan kubuka biskuit dalam toples agar suasana menjadi lebih rileks.
Dan setelah meminum seteguk air putih, barinding mulai bercerita:
“wahai ustadz, Sebulan yang lalu aku mengenal Mila di kantin kampus, kami semakin hari semakin intim saja, dia wanita agressif mengajakku jalan-jalan dan menemani setiap aktivitasnya. Awalnya aku rada heran, terlebih saat Mila memancingku untuk tidur bersamanya. Pernah saat usai kuliah dia memintaku mengantarnya pulang ke kosnya, sesampainya di sana aku tidak langsung pulang, melainkan bersantai-santai sejenak di kamarnya. Awalnya sih biasa-biasa saja, tiduran sembari nonton televisi, Tapi siapa yang tahan dengan godaan kulit mulus dan body seksinya, terlebih saat dia ganti pakaian di depan mataku. Akupun menuruti saja kemauan syetan, sampai akhirnya kami melakukan hubungan intim layaknya suami istri. Akan tetapi, Aku tidak pernah punya niat untuk menjalin hubungan serius dengannya, yang ada di benakku hanyalah bersenang-senang saja”.
“Lalu apa yang kau permasalahkan?”. Kudesak barinding untuk menggali benang merah atas kegalauannya.
“Mila menjebakku ustadz, dia hamil dengan cowok lain, kemudian mengajakku berhubungan intim, selanjutnya dia bilang mengandung janinku dan memintaku untuk bertanggung jawab dengan menikahinya. Padahal yang dikandungnya itu bukanlah janinku”. Jelas barinding.
“Apa yang membuatmu yakin bahwa bayi yang dikandung Mila bukanlah janinmu?”. Tanyaku.
Tanpa berfikir lama barinding menjawab dengan mantab:
“Bagaimana mungkin dia hamil satu bulan, sedang kami melakukan hubungan itu baru dua minggu. Lagian saat itu aku memakai pelindung, jadi mustahil janin itu adalah janinku. Aku menolak menikahinya, bahkan kuberi dia uang banyak agar menggugurkan kandungannya saja. Tapi dia tetap ngotot dan mengejarku untuk terus menikahinya”.
Belum sempat kutanggapi permasalahan barinding, tiba-tiba ada tamu yang mencari barinding, mereka berempat, kesemuanya cowok berbadan besar dan tubuhnya dipenuhi tattoo. Aku hanya berfikir; sesuatu yang buruk akan menimpa barinding. Tapi biar begitu, kusuruh barinding menemui tamunya itu. Selanjutnya aku tidak tahu lagi apa yang mereka bicarakan. Sampai kudengar mereka berdebat dan berbicara dengan nada yang keras. Mulai kudengar ada perkelahian di ruang tamu, aku segera keluar mengamati keadaan. Teman-teman kos yang lain tidak ada yang berani ikut campur atau melerai perkelahian tidak seimbang ini. Tak pelak muka barinding lebam-lebam dan di ujung bibirnya mengucur darah segar. Aku segera berlari melerai perkelahian ini:
“Berhenti kalian semua…!!!, kalian semua orang gila..!!!, banci…!!!, pengecut…!!!, beraninya main keroyokan..!”.
“Hai bung..!, nggak usah ikut campur..!, emang siapa situ?!!!”. Sahut salah satu dari mereka.
“Siapa aku tidaklah penting buat kalian, tapi ini daerahku..!, berani rusuh disini maka kalian semua akan habis..!!. akan kulubangi kepala kalian dengan ini…!!”. gertakku sambil menunjukkan bonggol pistol revolver jenis phython yang kuselipkan di pinggangku. Selanjutnya kuajak mereka duduk, untuk berbicara; siapa mereka dan apa keperluannya.
“Baiklah bro, kita bicara dulu; kenalkan saya Brewok yg megang terminal umbulharjo, ini Bendot yg megang daerah maguwo termasuk perum AURI, ini Bledug yg megang terminal pasar bringharjo, dan ini ipung yang megang parkiran THR Purawisata. Kami adalah suruhan seseorang untuk mencari Barinding, agar bertanggung jawab atas kelakuan bejatnya”. Sahut salah satu dari mereka.
“Hmmm…, Kalian pasti kenal pak Tukimin kapolsek Umbulharjo, juga Jembix preman tua terminal umbulharjo, pasti juga kenal Gajah provost AURI, pak Darto kapolsek Depok timur, Punuk pasar bringharjo, dan pasti akrab dengan Cekrik, Yolek, Yode dan lain-lainl di parkiran Purawisata, mereka semua itu adalah sahabat-sahabatku..!”. Sengaja kusebutkan nama-nama aparat dan preman senior untuk mengecilkan nyali mereka.
Ke empat preman itu mulai ciut nyali, terlebih terkejut saat kusebutkan nama-nama bos mereka. Situasi ini kumaksudkan agar mereka tidak rusuh dan mengacau di kosku. lalu aku masuk kamar sejenak, memasukkan uang 1 juta rupiah ke dalam amplop untuk mereka. Dan setelah kembali aku berpesan:
“Sudahlah, kalian semua pulang saja. Aku yang akan mengurus masalah ini. Besok akan kuhubungi Mila dan keluarganya. Sekarang pulanglah, terimalah amplop ini, dan tidak usah berfikir mendalam atas amplop ini, beginilah cara kami menghormati tamu. Tapi ingat, jangan sekali-kali rusuh disini, dan jika sesuatu yang buruk terjadi pada barinding, akan kucari kalian walaupun sampai ke lubang semut, tentunya kalian sudah tahu siapa aku dan siapa saja dibelakangku!”.
“Baiklah boss, sorry, kami tadi tidak tahu barinding adalah anak buah bos, sebaliknya kami akan jamin keselamatan barinding, semoga masalah ini selesai dengan kekeluargaan”. Merekapun berpamitan pulang.
Huaaaaaahhhh…, ku hela nafas panjang. Lega rasanya ke empat preman itu sudah pergi. Kubawa barinding ke kamarku, kubersihkan lukanya dengan revanol, kemudian meneteskan betadine di atas lukanya dan kututup dengan sufratool sebelum kuperban bagian kulit yang robek. Sambil menahan sakit barinding bertanya:
“Makasih ustadz, aku nggak tahu apa yang terjadi misal ustazd nggak turun tangan. Tapi ngomong-ngomong darimana ustadz punya pestol?, sejak kapan?, dan buat apa?”.
Kutatap tajam mata barinding, sehingga membuatnya diam terpaku memandangku. Kutodongkan pestol itu ke arah kepalanya, tepat diantara dua matanya, membuatnya gemetar menahan kaget, terlebih saat kutarik setengah pelatuknya dan kuancam:
“Dengarlah Barinding, sejujurnya kupersiapkan pestol ini untuk melubangi kepalamu, sudah lama kutunggu kesempatan untuk menghabisimu, dan sekarang pejamkanlah matamu, sadarilah kematian adalah akhir dari penderitaanmu…!”.
Sesaat kemudian terdengarlah suara; “Dooorrrr…! dooorrr…!”.
Anehnya tidak membuat barinding terkapar, melainkan justeru membuat kami berdua ngakak tertawa lepas membongkar kesunyian:
“Hahahahahahahaahahaha…!, hahahahahahahahahaha…!”, Suara dor itu keluar bukan dari pestol melainkan dari mulutku, dan dari ujung pestol keluar api kecil, menunjukkan ia hanyalah pestol mainan, korek api, alias replika revolver jenis phyton.
Hari-hari selanjutnya barinding menjadi sering di kamarku, memperhatikan setiap aktivitasku, membaca koleksi buku yang ada di rak bukuku. Ada yang berubah dari sikapnya, akhir-akhir ini dia menjadi kalem dan pendiam tak lagi energik dan gaul seperti dulu, dia mulai meninggalkan kebiasaan-kebiasaan buruknya; dugem, clubbing, atau sekedar kongkow-kongkow bersama teman-temannya di kaffe. Adalah hari jum’at, aku dikejutkan dengan keputusan besarnya; barinding meminjam sarung dan peci bermaksud hendak ikut pergi sholat jum’at ke masjid. Barinding memutuskan menjadi mu’allaf, ia juga selalu ikut setiap majlis ta’lim dan kajian-kajian agama yang kuikuti bersama remaja masjid baitussalam. Barinding bahkan ikut hadir di bangku belakang saat aku mengajar santri-santri TPQ. Dan seminggu kemudian ia mengenalkankanku dengan Mila. Wanita cantik berkulit putih yang notabene WNI keturunan china asal Batam inipun akhirnya mendapat hidayah memilih islam sebagai agamanya. Dan Alhamdulillah, dengan pertimbangan anak masa depan anak yang ada dalam kandungan Mila, atas saranku barinding bersedia menikahi Mila.
Keputusan barinding untuk menjadi mu’allaf dan menikahi Mila ini ternyata mendapat tentangan dari orang tuanya. Mereka sangat murka dan berjanji tidak akan mengakui lagi barinding sebagai anaknya sebelum ia kembali kepada aqidah semula dan menceraikan mila. Namun begitu barinding tetap teguh kepada keyakinan barunya, walaupun dia diancam akan dicoret dari daftar ahli waris keluarganya. Bahkan mulai detik ini, ortunya menjatuhkan embargo dengan tidak lagi mentransfer uang untuk saku bulanan dan SPP kuliahnya. Barinding tetap istiqomah dan tegar, walaupun sebenarnya itu sangat berat baginya. Karenanya kubantu dia agar bisa mandiri, kupercayakan dan kuserahkan konter ponselku di Galeria mall kepadanya. Sedang aku membuka lagi cabang cellular di Ambarukmo Plaza dan Jogja Tronik. Aku memang sudah terbiasa kuliah sambil kerja, maklumlah, aku bukan dari keluarga berada, sehingga butuh perjuangan dan kerja keras untuk bisa mencukupi kebutuhanku termasuk biaya kuliah.
Setelah barinding dan mila menikah, kami tidak tinggal satu atap lagi di kos yang penuh kenangan ini, mereka mengontrak rumah di Jl.Veteran dekat kebun bunatang Gembira Loka. Kami sudah jarang ketemu, hanya sesekali bertemu barinding saat sama-sama hadir dalam pengajian rutin malam jum’at, atau kalau mereka sedang dalam masalah. Sepertinya memang mereka sering bergelut dengan masalah rumah tangga, karena kurangnya dasar kekuatan cinta di antara mereka. Terlebih barinding hati kecilny masih tetap saja sulit untuk menerima janin yang ada di dalam perut isterinya.
Pernah suatu hari Mila isteri barinding berkunjung ke tempatku, untuk sekedar sharing, curhat atau konsultasi. Bahwa suaminya mulai ada perubahan sikap, barinding sering uring-uringan, marah-marah tanpa sebab, dan bahkan kerap berlaku kasar kepada dirinya. Aku bisa menebak, mila menjadi korban KDRT suaminya; baik fisik maupun bathin. Sungguh aku tidak tega melihatnya yang terus saja menangis sesenggukan. Akupun berencana hendak menemui barinding untuk mengingatkannya agar memperlakukan isterinya dengan baik.
Namun belum sempat kutemui barinding, hari ini ponselku berdering, kulihat nama Mila dilayarnya. Tidak begitu jelas suara itu, aku hanya mendengar mila menangis dan menjerit-jerit minta tolong, kemudian telpon itu terputus begitu saja. Tanpa berfikir panjang, kuraih helm, kupacu motor tigerku dengan kecepatan tinggi. Di jalan ring road utara ini aku menerabas jalur mobil, tak perduli lagi itu zona terlarang bagi motor, juga tak perdulikan poltas dan PJR mengejarku atau tidak. Yang terfikirkan musti cepat sampai dan menolong Mila.
Sesampainya di rumah barinding, kulihat ruangan serba kacau, berantakan dana acak-acakan. Banyak perabot pecah dan rusak. Parahnya kulihat si Mila tersungkur bersandar dinding. Kepalanya berdarah dan mukanya lebam bengkak:
“Masya Allah mila, apa yang telah terjadi?”.
Mila tidak menjawab, hanya menangis sembari menggenggam ponselnya yang hancur seperti habis ada yang membantingnya. Aku jongkok mendekati mila yang sedang shock, kupegang dagunya dengan kedua tanganku dan bertanya:
“Jawab mila…! Siapa yang melakukan ini semua?!”.
Lagi-lagi mila tidak menjawab, mulutnya hanya mengerucut bergetar, kemudian sepontan memelukku sambil bersuara surau terbata-bata sembari menangis:
“Tolong aku ustadz…, toloooooongggg, bawa aku pergi dari sini…, aku takut ustadz…, aku sangat takuuuutt”.
Kuelus-elus punggung mila untuk menenangkannya:
“Baiklah mila, jangan takut, ada aku di sini. Mana barinding suamimu?”.
“Suamiku tahu tadi aku sempat nelpon ustadz, lalu dia membanting hapeku dan pergi karena yakin ustazd pasti akan kesini menolongku”. Jawab mila yang lagi-lagi dengan menangis.
Bukanlah saat yang tepat mengintrogasi mila pada situasi dan kondisi seperti ini, terlebih kepala mila yang bocor terus mengeluarkan darah, apalagi Mila dalam keadaan hamil tujuh bulan. Kugendong mila, kupanggil taksi dan mengantarkannya ke UGD RSU PKU Muhammadiyah yang terletak di Jl. KH.A.Dahlan, karena itu adalah rumah sakit terdekat dari rumah mila di Jl.Veteran.
Selanjunya aku menunggu gelisah di ruang tunggu, seiring do’a semoga mila dan bayi yang dikandungnya baik-baik saja, dan senantiasa dalam lindungan Allah swt. Sambil menunggu kutelpon Antok sahabatku yang juga karyawan di konterku:
“Tok…!, sekarang juga kumpulkan anak-anak..!, sebar mereka, dan cari barinding dimanapun dia berada”.
“Emang ada apa bos?”, Tanya antok.
“Mila opname, cepat cari barinding dan bawa dia kemari, aku di PKU, nanti ku sms ruangannya”. Tandasku.
“Siap bos..!”. jawab antok tanpa banyak membantah.
Di ruang tunggu ini aku cemas menanti kabar mila, sambil sesekali membuka facebook untuk mengalihkan kegundahanku. Sampai saat kulihat dr. fu’ad keluar dari ruang ICU:
“Bagaimana keadaan mila dok?”. Tanyaku.
Selanjutnya dr.fuad menjelaskan panjang lebar kronologis mila. Aku tak ingat persis apa yg dikatakan dokter, aku juga tak begitu faham istilah-istilah kedokteran yang diucapkannya. Yang kutahu mila mengalami benturan hebat dikepala, dan diusia kehamilannya yang tujuh bulan ini ia mengalami pendarahan dan air ketubannya pecah, sehingga dokter harus mengeluarkan bayi itu dengan premature secara cesar.
Malam harinya pukul 21.15 bayi mila telah selesai di angkat. Bayi itu harus masuk incubator karena lahir premature. Aku sudah bisa masuk ruangan menemani Mila. Ia hanya tersenyum saat kuucapkan selamat kepadanya sambil bersalaman. Tapi anehnya mila tidak melepaskan genggaman tangannya. Ia menarikku mendekat dan memintaku duduk di sampingnya yang hanya bisa terbujur di ranjang:
“Makasih ustadz, aku tak tahu musti dengan apa kubalas kebaikan ustadz”.
“Sssssttttt…., jangan berkata begitu, aku bukanlah orang lain dalam kehidupanmu sehingga harus menerima ucapan makasih darimu. Aku hanya berusaha berbuat semampuku, maafkan jika aku terlambat datang, yang penting saat ini kamu dan bayimu selamat dan baik-baik saja, itu sudah cukup membuatku bahagia”.
Tanpa sadar kata-kataku tersebut membuat mila menangis, sepertinya ia sangat merindukan barinding suaminya ada disampingnya saat ia melahirkan, berharap barinding memberinya kekuatan saat ia rapuh seperti ini. Tapi baginya berharap barinding memperlakukannya seperti itu hanyalah mimpi. Sampai tiba-tiba ponselku berdering:
“Assalamu’alaikum. Bos, kami sudah menemukan barinding. Tapi ia nggak mau ku ajak ke rumah sakit, sepertinya dia ketakutan sama kamu”.
“Wa’alaikum salam, bilang sama barinding. Aku tidak akan menyakitinya”. Jawabku.
Setelah dibujuk, akhirnya barinding bersedia datang. Tapi ternyata mila mendengar percakapan itu. Ia tahu barinding akan datang. Tiba-tiba mila menarik tanganku, kemudian memelukku:
“Ustadz…, aku takuuuut, aku takuuuut, ustadz di sini saja, jangan tinggalkan aku”. Mila sangat trauma dengan kekerasan yang dialaminya.
“Tidak mila, aku tidak akan meninggalkanmu. Percayalah, aku akan selalu disampingmu untuk menjagamu”. Kucoba menenangkan mila.
Mendengar kata-kataku justru membuat mila menangis sesenggukan:
“Ustadz, perlakuanmu terhadap wanita membuatku semakin sedih dan cemburu. Beruntung sekali kelak wanita yang menjadi istri ustadz. Ketahuilah ustadz, kemarin barinding sudah menceraikanku. Sejak menikah dengannya, aku tak pernah merasakan kasih sayang darinya; dia selalu kasar terhadapku, dia sangat membenciku, juga membenci bayi yang ada di dalam kandunganku. Kemarin hampir saja barinding membunuhnya dengan menendang perutku. Dan tadi dokter bilang; kepalaku mengalami gegar otak dan pendarahan otak sehingga harus dioperasi. Aku sadar, bisa saja ini adalah detik-detik akhir dari usiaku. Dan jika aku meninggal, tolong jaga anakku ustadz, rawat dan didiklah dia agar menjadi sosok seperti ustadz. Aku sangat takut jika dia jatuh di tangan barinding, sungguh aku tidak ridho jika barinding menyakitinya”.
Kuletakkan kedua tanganku di atas dahiku, sambil sesekali mengusap air mata yang tanpa sadar keluar saat mila menceritaan kisahnya. Aku hanya menjadi pendengar yang setia sambil terus memandangi bibir mila yang bergetar berbicara dengan terpatah-patah, lalu menangis, dan kembali berucap:
“Ustadz…, bolehkah aku bermohon sekali ini saja kepadamu?”.
“Apa yang bisa kubantu?”. Tanyaku.
“Berjanjilah ustadz, jika nanti barinding datang kemari, aku ingin berpesan kepada barinding untuk yang terakhir kali, mungkin semacam wasiat sebagai antisipasi jika ternyata Tuhan mengambil nyawaku saat operasi nanti”.
Mendengar permintaan mila aku semakin bingung, iba dan tidak tega. Apa kiranya keinginan itu sampai terkemas dalam bingkai permohon yang begitu tulus dan penuh pengharapan. Sampai akhirnya dia mengatakan isi hatinya:
“Berjanjilah ustadz, nanti saat kubacakan wasiat itu, ustadz hanya boleh DIAM”.
“Insya Allah mila, aku janji akan diam”. Jawabku.
“Demi apa ustadz?”. Mila mendesakku. Membuatku berfikir sejenak, bahwa mila benar-benar tidak main-main:
“Baiklah aku berjanji demi Allah”. Jawabku lagi.
Tiba-tiba dari balik pintu kudengar suara orang mengucapkan salam. Dan setelah kujawab dan kubuka pintunya, ternyata antok dkk datang membawa barinding. Segera kutarik baju barinding, menyandarkannya di tembok dan bertanya:
“Darimana saja kamu nding?”.
“Menenangkan diri tadz”. jawab barinding kalem.
Aku menjadi gemas melihat tampang barinding hari itu, ingin kurobek-robek mukanya tapi dia bukanlah kertas:
“Menenangkan diri atau ngumpet?!. Hebat kamu ea?!. Gagah sekali sekarang, sudah bisa seperti pendekar..!”.
Barinding hanya diam menunduk merapikan bajunya yang kutarik, memikirkan setiap kata-kataku. Kusodorkan mukaku:
“Sekarang pukul aku nding!. Ayo pukul..!!!, pukul aku nding..!”. kudorong-dorong dada barinding layaknya orang yang menantang berkelahi.
“Kenapa diam..?!. ayo pukul…!, takut ya..?!, buruan pukul..!, aku tidak akan membalas..!. kita sama-sama laki-laki nding, lalu apa yang kau taakutkan?!. Apakah hanya sama wanita engkau berani?!”.
Lagi-lagi barinding hanya diam membisu, kudengar dia bersuara lirih:
“Maafkan aku ustadz”.
“Bukan sama aku kamu harus minta maaf…!, lihatlah mila itu, puas kau bikin ia menjadi begitu?!. Syetan apa yang merasukimu?!. Apakah engkau lupa janjimu saat menikahi mila dihadapanku?!”.
“Sudahlah ustadz. Cukup. Aku yang salah”. Sambil menangis mila memotong kata-kataku.
Sejenk suasana menjadi hening. sampai beberapa menit kemudian, kuminta antok dkk untuk keluar sebentar, karena mila hendak berwasiat. Mila mencoba tegar dan tabah, ia menghela nafas panjang lalu mulai berkata-kata:
“Bang Barinding, maafkan aku jika tidak mampu menjadi isteri yang baik untukmu. Aku ikhlas menerima perlakuan apapun darimu. Tapi kumohon jangan pernah menyakiti bayi yang yang telah kulahirkan ini. Aku sudah menitipkannya kepada ustazd agar menjaganya. Bang Barinding, hampir setahun kita menikah, tapi ada rahasia yang mungkin perlu kuungkap agar semua mejadi jelas. Ketahuilah; curigamu selama ini adalah benar, bahwa bayi yang kulahirkan hari ini bukanlah anakmu. Pernah suatu hari aku mencarimu di kos. Aku tidak mendapatimu disana, sehingga aku berkunjung di kamar ustazd, awalnya aku hanya ingin curhat, akan tetapi terjadilah hubungan yang seharusnya tidak kami lakukan. Aku hamil setelah itu. Setelah aku hamil, barulah kita dekat. Sehingga janin yang kukandung bukanlah janinmu, dia adalah anak ustadz”.
“Bang Barinding, aku tahu engkau menikahiku karena keterpaksaan. Engkau tidak pernah mencintaiku. Walaupun selama ini aku selalu berharap cinta itu akan lahir seiring berjalannya waktu. Karena itulah bang, hari ini kumohon pergilah engkau dari kehidupanku dengan hati yang ikhlash. Sungguh aku tidak sanggup lagi hidup denganmu”.
Mendengar cerita mila barinding kaget sejadi-jadinya, dia yang semula hanya menunduk kini menatap mataku. Sesaat kemudian dia berucap:
“Ustazd…, benarkah semua apa yang dikatakan mila?”.
Sebagaimana barinding aku juga terkejut dengan kata-kata mila. Mulutku membuka hendak menjawab pertanyaan barinding, tapi tak ada suara yang bisa kulafalkan. Mila menatapku dengan mata yang sayu dan berkaca-kaca seolah mengingatkanku yang telah bersumpah hanya akan diam saat ia berwasiat, apapun yang terjadi. Aku hanya tertunduk menutup wajahku dengan kedua telapak tangan. Sampai akhirnya barinding berpamitan:
“Baiklah mila, jika itu maumu. Hari ini kukuhkan lagi untuk yang kedua kali; kuceraikan engkau. Dan kamu ustadz, terimakasih atas kebaikanmu selama ini. Aku tidak pernah menyesal mengenalmu, kukembalikan mila kepadamu ustadz, jaga dia baik-baik. Tapi maaf, setelah ini kita tidak usah saling kenal lagi”. Barinding bergegas meninggalkanku dan mila.
Bagai disambar petir di siang hari. Sungguh wasiat mila membuatku terpaku termangu-mangu, seolah tidak percaya dia akan berkata seperti itu, sambil duduk di pinggir ranjangnya kutanyakan apa maksud dia berwasiat seperti itu. Mila menjawab:
“Ustadz…, maafkan aku terpaksa harus berbohong. Aku benar-benar takut sama barinding. Aku ingin lepas darinya ustadz. Aku juga takut dia akan menyakiti anakku, karena dia berjanji akan membunuhnya. Karenanya aku berbohong bayi itu adalah anakmu. Karena kutahu hanya ustadz sosok yang disegani dan ditakuti barinding”.
“Baiklah kalau begitu. Sudahlah lupakan semua problematika hidupmu. Yang penting sekarang kamu sudah lepas dari barinding. Oh ea, tadi aku habis menengok si kecil. Dia ganteng, putih, matanya sipit, dan lucu seperti bundanya”. Kucoba menghibur mila dengan bayinya.
“Berikan nama untuk dia wahai ustadz”. Pinta mila. Dan setelah meminta persetujuan mila bayi mungil itu akhirnya kuberi nama DAHLAN ASY’ARI (CHENG HOO). Kuambil dari nama-nama ulama besar yang berjasa dalam bidang dakwah di Indinesia: K.H. Ahmad Dahlan, K.H. Hasyim Asy’ari, dan Laksamana Cheng Hoo.
Har-hari selanjutnya aku terus menjaga mila di rumah sakit itu, maklumlah kedua orang tua mila meninggal saat kecelakaan pesawat Lion Air yang jatuh di laut beberapa tahun yang lalu. Familinya juga jauh berada di Batam. Sehingga sebelum mereka pada berdatangan, akulah yang dianggap mila keluarga yang paling dekat. Sungguh sedetikpun aku tidak tega meninggalkannya, terlebih akhir-akhir ini mila sering mengeluhkan sakit di kepalanya. Pendarahan di otak sering membuat tubuhnya bergetar sendiri seperti orang sakit ayan. Terkadang tangannya bergerak-gerak sendiri tanpa perintah dari otak. Segera kupanggil suster, sambil kuletakkan tanganku di bagian kepalanya yang sakit dan membaca do’a untuk menghilangkan rasa sakit yang pernah diajarkan guru ngajiku dulu:
بِسْمِ اللّهِ x3
أَعُوْذُ بِاللّهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحَاذِرُ x7
“Dengan nama Allah, aku berlindung kepada Allah dan kekuasaan-Nya dari setiap keburukan yang kutemui dan yang ku khawatirkan”.
Alhamdulillah setiap kali kubacakan dan kutuntun mila untuk membaca do’a itu mila merasa nyaman dan lebih baik. Kadangkala agar tidak bersedih juga pernah kutanyakan kepadanya:
“Mila, katakana kepadaku, apa yang bisa membuatmu terhibur, senang, dan bahagia”.
Mila selalu menjawab:
“Satu hal do’a dan harapanku saat ini yang mampu membuatku bertahan adalah AKU INGIN HALAL BUATMU wahai ustazd, aku ingin kiranya di akhir-akhir hayatku ustadz berkenan menikahiku”.
Kudengar kata-kata itu tidak hanya sekali keluar dari mulut mila yang sudah dua minggu ini berbaring di rumah sakit. Akupun mulai mencuri-curi pandang saat dia terlelap tidur. Inilah pertama kali kupandangi wajah mila dengan mata cinta; kulihat wajahnya yang cantik terbingkai balutan kulitnya yang putih bersih, Nampak indah saat mata sipit itu menepis kesan angkuhnya. Bibirnya yang tipis tersayat bulan yang merah merekah bagai delima memaksaku celegukan menelan ludah menahan hasrat.
“Astaghfirullah ‘azdim”. Saat itulah kusadari sesuatu telah menancap dihatiku. Dan kini kuncup-kuncup bunga bermekaran seiring ikrar yang hendak terucap. Seminggu kemudian aku menikahi mila yang masih terbaring di rumah sakit. Sungguh waktu yang singkat itu telah mengukir kenangan manis sepanjang hidupku. Satu jam saja aku telah bisa mencintainya sepenuh hatiku, akan tetapi melupakannya melupakannya mungkin akan membutuhkan waktu seumur hidupku. Tuhan akhirnya mengambilnya. Dokter melubangi tengkorak kepalanya untuk mengambil gumpalan darah di otaknya. Tapi mila terlalu lelah untuk terus berjuang melawan takdirnya. Selamat jalan isteriku sayang, engkaulah anugerah terindah sepanjang hidupku.
===========================
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
“Dan bergaullah dengan mereka (istrimu) secara patut. Kemudian bila tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”. (Q.S. An-Nisa’:19)
Sumber : http://kajianpsikologi.guru-indonesia.net/index.html#.UqOixdIW2RQ
Tidak ada komentar:
Write komentar