Selasa, 03 September 2013

kode etik psikologi bab vii biaya jasa dan praktik psikologi


DRAFT BARU
KODET LAMA
CPA
BAB VII
Biaya Jasa dan Praktik  Psikologi
Pasal 33
Penjelasan Biaya dan Batasan



33.1












33.2








33.3













33.4









33.5
Pemberian imbalan atas jasa dan atau praktik psikologi yang sesuai dengan keahlian dan kewenangan dengan tetap mengutamakan dasar-dasar professional.



Menjelaskan tentang hak dan kewajiban masing-masing pihak, termasuk biaya jasa dan atau praktik psikologi. Juga dijelaskan bahwa besaran biaya harus disesuaikan dengan standar yang pantas dalam masyarakat.








Penggunaan berbagai macam cara termasuk hukum untuk mendapatkan imbalan atas jasa atas sepengetahuan klien apabila klien menolak memberikan imbalan seperti yang disepakati.
Pada pasal ini penggunaan kata “berbagai macam cara” terkesan ambigu. Dengan menyebutkan jenis-jenis cara yang boleh dipergunakan akan memperjelas maksud pasal.

Catatan yang diperlukan untuk penanganan darurat akan diberikan oleh psikolog dan atau ilmuwan psikologi walaupun imbalan belum dberikan.










Ketidaksediaan psikolog dan atau ilmuwan psikologi dalam menerima pekerjaan yang melanggar kode etik maupun menerima imbalan atas pekerjaan tersebut.






Keterlibatan psikolog dan atau ilmuwan psikologi dalam pemberian jasa dan atau praktik psikologi secara sukarela sebagai bentuk kepedulian terhadap masyarakat.
Sebelumnya hal ini tidak dijelaskan pada kodet lama. Pasal ini menjadi penting agar psikolog dan atau ilmuwan psikologi juga bersedia melakukan jasa dan atau praktik secara sukarela demi kepentingan masyarakat maupun profesi.

Termasuk dalam pasal 8 tentang SIKAP PROFESIONAL DAN PERLAKUAN TERHADAP PEMAKAI JASA ATAU KLIEN.



Terdapat dalam penjelasan pasal 8(d).4 mengenai kejelasan prosedur, manfaat, dan besarnya atau bentuk imbalan. Pada pasal 8.4.1 juga disebutkan mengenai kesepakatan tentang kompensasi dan pengaturan penagihan.






Terdapat dalam penjelasan pasal 8.4.1 (f) tentang hal yang sama. Namun pada kodet lama lebih dijelaskan tentang cara yang digunakan, misalnya dengan menggunakan jasa kolektor.




Dalam kodet lama tidak dijelaskan mengenai penggunaan hasil pemeriksaan untuk penanganan darurat. Tetapi dijelaskan bahwa apabila memang catatan tertentu diperlukan untuk keperluan hukum maupun hal lain, maka ilmuwan psikologi dan psikolog dapat memberikannya dengan atau tanpa sepengetahuan klien. Juga disebutkan bahwa pengungkapan ini tidak dilakukan untuk mendapatkan imbalan. (Pasal 12.2.1(e)).

Tidak dijelaskan dalam kodet lama mengenai ketidaksediaan dalam menerima pekerjaan yang melanggar kode etik. Tetapi disebutkan bahwa psikolog atau ilmuwan psikolog tidak boleh menerima imbalan apabila berpotensi menciptakan konflik, eksploitasi dan distorsi atas hubungan professional. (Pasal 8.4.2).

Tidak dijelaskan dalam kodet lama.

Disebutkan dalam prinsip I.15 tentang pemberian imbalan yang sesuai dengan waktu, tenaga dan pengetahuan yang diberikan oleh psikolog dan disesuaikan dengan standar yang ada pada masyarakat. 

Penjelasan tentang hak dan kewajiban masing-masing pihak pada CPA disebutkan pada bagian informed consent prinsip I.16, walaupun tidak disebutkan secara langsung mengenai biaya yang diberikan. Penjelasan mengenai pemberian biaya disebutkan dalam prinsip I.15. Selain itu prinsip III.14  juga menyebutkan bahwa hal-hal yang termasuk dalam informed consent harus diperjelas, salah satunya adalah tentang biaya.

Penjelasan mengenai hal ini tidak disebutkan secara eksplisit pada CPA, tetapi dapat terlihat pada prinsip III.14 mengenai kejelasan tentang informed consent yang didalam nya termasuk masalah biaya dan cara pembayaran.


Seperti pada kodet lama, pada CPA hanya menjelaskan bahwa hasil pemeriksaan boleh digunakan atas seijin klien dengan tetap menjunjung azas kerahasiaan kecuali untuk kepentingan hukum atau ketika dalam situasi yang memungkinkan timbulnya bahaya fisik maupun kematian (pada prinsip I mengenai privacy dan confidentiality). Sedangkan untuk masalah biaya yang belum dibayarkan tidak dijelaskan.


Dalam CPA tidak disebutkan tentang menerima pekejaan yang melanggar kode etik, namun disebutkan dalam prinsip I.6 dan prinsip II.4 tentang ketidaksediaan untuk memberikan saran, pelatihan maupun informasi apapun apabila ada kemungkinan akan digunakan untuk hal yang membahayakan orang lain.

Dalam CPA prinsip IV.12 disebutkan bahwa demi kepentingan masyarakat maupun kepentingan profesi, psikolog bersedia memberikan waktunya untuk pelayanan walaupun mereka tidak akan menerima imbalan.
Pasal 34 Rujukan dan Biaya
Pasal ini merupakan pasal baru yang tidak tercantum pada Kode Etik Psikologi yang lama sebagai pasal yang berdiri sendiri. Pasal ini mengatur tentang pedoman pembagian biaya dalam hal rujukan.
Dalam kaitan ilmu dan profesi psikologi yang makin berkembang, sehingga memungkinkan kerjasama lintas bidang keilmuan, pasal ini perlu dikemukakan sebagai pasal yang berdiri sendiri. Sebagai draft baru maka penjelasan-penjelasan mengenai aspek-aspek yang berkaitan pembiayaan dan rujukan perlu dikemukakan lebih lanjut pada Pedoman Pelaksanaan pasal ini.
Dalam Kode Etik Psikologi yang lama isi pasal 34 tercantum pada Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Psikologi Indonesia pasal 8.4.1. (Penerimaan imbalan Jasa) poin h. Dalam pasal 8.4.1.h. dijelaskan bahwa terdapat pengecualian yaitu dalam hubungan karyawan dan majikan, maka pembayaran dilakukan atas jasa yang diberikan (klinis, konsultasi, atau lainnya). Masalah pengecualian ini tidak dijelaskan secara eksplisit pada pasal 34. Agar tidak menimbulkan salah pengertian antara pengertian rujukan dan hubungan majikan karyawan, maka diperlukan penjelasan mengenai pengecualian tersebut pada penjelasan pasal draft baru. 
Dalam CPA permasalahan rujukan dan biaya tidak dijabarkan secara khusus namun di atur dalam prinsip I.12 – I.15 yaitu prinsip Fair treatment/due process terutama prinsip I.14 dan I.15 yang berisi tentang kompensasi yang adil ketika bekerja sama dengan orang lain. Sebaiknya dalam draft baru ini ditambahkan prinsip atau nilai yang harus dijunjung dalam hal rujukan dan biaya, yaitu prinsip berlaku adil.



Pasal 35 Keakuratan Data dan Laporan Kepada Pembayar atau Sumber Dana
Pasal ini sebelumnya tidak dicantumkan sebagai pasal yang berdiri sendiri pada Kode Etik Psikologi yang lama. Mengingat minat masyarakat pada jasa dan praktik psikologi yang makin meningkat, maka kemunculan pasal ini sebagai pasal yang berdiri sendiri terpisah dari Pasal Sikap Profesional Dan Perlakuan Terhadap Pemakai Jasa atau Kilen sangat diperlukan.
Kemunculan pasal ini sebagai pasal yang berdiri sendiri menekankan pentingnya isu terkait pelaporan hasil jasa/praktik psikologi pada klien. Sebagai penjelasan pasal ini akan lebih baik bila dicantumkan isi pasal 13 Kode Etik yang lama (Pencantuman Identitas Pada Pelaporan Hasil Pemeriksaan Psikologis), yaitu kewajiban untuk membubuhkan tanda tangan, nama jelas, dan nomor izin praktik sebagai bukti pertanggung jawaban.
Dalam Kode Etik Psikologi yang lama isi pasal 35 ini dikemukakan pada Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Psikologi Pasal 8.4.1.g (Penerimaan Imbalan Jasa). Pada pasal lama dicantumkan kemungkinan diperlukannya mencantumkan identitas pemberian jasa, hasil kerja, diagnosis bila diperlukan, sesuai dengan kondisi dan kebutuhan, sejauh tidak menyalahi aturan dan ketentuan yang berlaku, baik menurut etika dan hukum. Selain itu dicantumkan juga perlu diperhatikannya unsur kerahasiaan yang harus dijaga dan dihormati. Perlu dipertimbangkan untuk mencantumkan kembali pada pasal yang 35 yang baru ini, sebagai penjelasan pasal.
Dalam CPA masalah keakuratan data dan laporan kepada pembayar atau sumber dana tidak dibahas secara spesifik  namun tertuang pada prinsip akurasi dan objektivitas. Akan lebih baik jika dalam pasal ini ditambahkan acuan prinsip atau nilai yang digunakan dalam hal memberikan data dan laporan pada pembayar jasa atau sumber dana seperti yang telah tercantum pada pasal 2 (Prinsip Umum), yaitu prinsip Integritas dan Tanggung Jawab.
Pasal 36
Pertukaran (Barter)
Pasal ini berisi tentang diperbolehkannya Psikolog dan atau ilmuwan psikologi menerima benda atau imbalan non uang dari pengguna jasa dan atau praktik psikologi sebagai imbalan atas pelayanan psikologi yang diberikan hanya jika tidak bertentangan dengan kode etik dan pengaturan yang dihasilkan tidak eksploitatif.
Pasal ini mengangkat kemungkinan dalam praktik di lapangan bahwa pengguna jasa dapat menawarkan pada psikolog untuk menerima benda atau imbalan non uang.
Pasal ini tidak dikemukakan secara langsung pada Kode etik yang lama. Namun secara implisit terkandung pada pasal 8.4.1.a  yang menegaskan bahwa pada awal terjadinya hubungan profesional dan ilmiah ilmuwan psikologi dan psikolog sudah mencapai kesepakatan yang menjabarkan kompensasi dan pengaturan penagihan. Namun untuk menghindari ketidakpuasan yang muncul dari pihak pengguna jasa dan ilmuwan psikologi dan psikolog, maka perlu ditambahkan bahwa imbalan non uang atau benda ini sudah disepakati sebelum pelayanan jasa diberikan. Perlu ditegaskan bahwa imbalan non uang atau benda ini adalah sebagai ganti biaya jasa dan bukan sebagai hadiah. Perlu ditegaskan bahwa apakah ilmuwan psikologi atau psikolog diperbolehkan untuk  meminta imbalan non uang atau benda tertentu  walaupun dalam kasus klien tidak mampu membayar layanan jasa dan secara sukarela menawarkan imbalan jasa dalam bentuk lain, seperti yang telah dijelaskan pada pasal 8.4.1.e Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Psikologi Indonesia.
Dalam CPA permasalahan barter atau pertukaran  tidak dijabarkan secara khusus namun di atur dalam prinsip I.12 – I.15 yaitu prinsip Fair treatment/due process terutama prinsip I.14 dan I.15 yang berisi tentang kompensasi yang adil ketika bekerja sama dengan orang lain. Sebaiknya dalam draft baru ini ditambahkan prinsip atau nilai yang harus dijunjung dalam hal pertukaran dan barter, yaitu prinsip berlaku adil.

Kajian BAB VII

Bab ini menekankankan pada pembahasan mengenai biaya terhadap jasa praktik psikologi yang dilakukan oleh psikolog dan atau ilmuwan psikologi. Hal-hal yang dibahas terdiri dari besaran biaya yang diberlakukan dan berbagai macam cara pembayaran yang diperbolehkan. Pada bab ini terdapat suatu bahasan baru pada pasal 33 ayat 5 yaitu dimana psikolog dan atau ilmuwan psikolog dianjurkan untuk memberikan praktik psikologi secara sukarela untuk kepentingan masyarakat. Pasal ini di dukung oleh pasal 36 yang membahas mengenai barter, dimana kebijakan baru bahwa psikolog dan atau ilmuwan psikolog diperbolehkan untuk menerima benda atau imbalan non uang sebagai pembayaran atas jasa praktek psikologi yang diberikan sehingga menegaskan bahwa pekerjaan psikolog tidak hanya menekankan untuk mencari imbalan berupa uang tetapi juga berperan dalam mensejahterakan masyarakat.
BAB VIII
Pendidikan dan Pelatihan
Pasal 37
Rancangan dan Penjabaran Program Pendidikan dan Pelatihan

(1)










(2)







Penjabaran mengenai tanggung jawab  psikolog dan ilmuwan psikolog dalam mengadakan langkah-langkah yang tepat dalam pendidikan dan pelatihan, diantaranya adalah memastikan standar kelayakan program dalam menambah pengetahuan bagi klien. Selain itu juga memastikan pendidikan dan pelatihan memenuhi kebutuhan surat ijin, sertifikasi atau tujuan lain yang dimaksud untuk program tersebut.

Penjelasan bahwa psikolog dan ilmuwan psikolog juga memastikan penjabaran rencana pendidikan dan pelatihannya secara tepat.




Pasal ini sebelumnya bukan merupakan pasal yang berdiri sendiri, karena ia terdapat dalam pedoman penjelasan kode etik versi lama. Pada draft kode etik yang baru, pasal ini berdiri sendiri sehingga memudahkan untuk dibaca dan dipahami.







Terdapat dalam pedoman penjelasan kodet etik pasal 7.2.1.a, yaitu psikolog dan ilmuwan psikolog wajib mengembangkan desain program pengajaran, pelatihan, dan pendidikan. Desain tersebut menggambarkan kemampuannya dan disesuaikan dengan persyaratan yang berlaku, sertifikasi, atau tujuan lainnya yang ditentukan oleh program.

Terdapat dalam penjelasan kode etik pasal 7.2.1.b yaitu program pengajaran, pelatihan, pendidikan harus diuraikan dalam bentuk informasi agar dapat menjadi pegangan bagi pihak yang menggunakannya.







Terdapat dalam prinsip III.5, yaitu menjabarkan secara akurat mengenai aktivitas, fungsi, kontribusi sert ahasil penelitian yang dilakukan.







Terdapat pada prinsip III.6, yaitu memastikan rancangan aktivitas-aktivitas yang akan dilakukan, termasuk didalamnya hal-hal yang dihasilkan dari aktivitas tersebut.
Pasal 38
Keakuratan Dalam Pengajaran


Pasal ini menjelaskan bahwa psikolog dan ilmuwan psikolog dalam mengambil langkah dalam pendidikan dan pelatihan harus berdasarkan perkembangan kemajuan pengetahuan yang ada.

Pasal ini sudah dibahas dalam pedoman penjelasan kode etik versi lama dan CPA. Akan lebih baik bila ditambahkan keterangan seperti dalam CPA bahwa perkembangan pengetahuan harus diikuti oleh psikolog dan ilmuwan psikologi agar dapat mendatangkan keuntungan dan tidak merugikan pihak lain.
Terdapat pada pasal 7.2.1.e, yaitu psikolog dan ilmuwan psikologi bertanggung jawab atas akurasi dan tujuan pengajaran, pelatihan dan pendidikan yang diselenggarakannya.
CPA membahas keakuratan dalam pelaksanaan pelayanan psikologi dengan lebih luas (pada prinsip II, bagian akurasi). Namun lebih spesifik lagi, dalam hal psikolog harus mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan terdapat dalam prinsip II.9, yaitu psikolog dan ilmuwan psikolog selalu mengikuti mengembangkan pengetahuannya sesuai dengan perkembangan yang ada melalui berbagai macam metode (literatur yang relevan, diskusi sesama rekan seprofesi, dan atau melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi). Hal ini dilakukan agar dapat mendatangkan keuntungan dan tidak mendatangkan kerugian bagi pihak lain.
Hal tersebut juga dibahas pada prinsip III.4, yaitu senantiasa mengembangkan kompetensi di area psikologi dimana ia beraktivitas.
Pasal 39
Pengungkapan Informasi Pribadi  Peserta Pendidikan dan Pelatihan

(1)






(2)







Penjelasan bahwa psikolog dan ilmuwan psikologi tidak meminta peserta pendidikan dan  pelatihan untuk mengungkapkan informasi pribadi tertentu



Penjabaran bahwa informasi yang bersifat sangat pribadi dapat dipastikan manfaatnya secara maksimal dan dapat dicegah dampak negatifnya serta terjaga kerahasiaannya.













Pasal ini sebelumnya sudah di bahas pada pedoman penjelasan kode etik versi lama. Namun dalam draft kode etik versi baru tidak dijelaskan lagi mengenai hal-hal yang harus dipatuhi seperti pada kode etik versi lama.







Terdapat pada pasal 12.1.d, yaitu psikolog dan ilmuwan psikologi menjaga kerahasiaan klien yang berkaitan dengan pengurusan data-data dalam pemberian jasa psikologi dengan memperhatikan kaidah hukum.

Terdapat pada pasal 12.2, yaitu psikolog dan ilmuwan psikologi wajib memegang teguh rahasia yang menyangkut klien. Hal-hal yang harus dipatuhi adalah memberikan hanya kepada pihak yang berwenang mengetahuinya, dapat didiskusikan hanya dengan orang-orang atau pihak yang secara langsung berwenang atas diri klien atau pemakai jasa, dapat dikomunikasikan dengan bijaksana secara lisan atau tertulis kepada pihak ketiga hanya bila pemberitahuan ini diperlukan untuk kepentingan klien, profesi dan akademisi namun identitas klien yang bersangkutan tetap dirahasiakan.









Terdapat dalam prinsip I.39 bahwa mencatat informasi tertentu yang bersifat pribadi sesuai dengan ketentuan dan atau hukum yang berlaku.


Terdapat dalam prinsip IV.17, yaitu selalu mematuhi hukum yang berlaku dalam melakukan aktivitas sebagai psikolog dan pada  prinsip IV.18, yaitu senantiasa mengkonsultasikan pada klien mengenai kewajiban untuk mematuhi hukum dan kode etik yang berlaku dalam pelaksanaan kegiatan, kecuali dalam keadaan yang sangat darurat dan mendapatkan persetujuan dari berbagai pihak dan kegiatan tersebut merupakan jalan satu-satunya untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi.
Pasal 40
Kewajiban Peserta Pendidikan dan Pelatihan untuk Mengikuti Program Pendidikan Terapi yang Disyaratkan

Menjelaskan mengenai pemberian terapi pada pelaksanaan pendidikan dimana pemberian terapi tersebut diberikan oleh praktisi atau ahli terapi yang tidak terlibat dengan program pengajaran tersebut, sedangkan pengajar yang bertanggung jawab atas evaluasi dan prestasi akademik mahasiswa tidak boleh memberikan terapi yang disyaratkan dalam pengajaran.

Judul pasal ini berbeda dengan penjelasan pasal sehingga menyebabkan kebingungan dalam memahaminya. Penjelasan pasal tidak mencantumkan tentang kewajiban peserta pendidikan dan pelatihan, melainkan kewenangan psikolog dan ilmuwan psikologi yang memiliki tanggung jawab dalam menyusun program pelatihan dan pendidikan.  

Pasal ini sebelumnya tidak dibahas pada kode etik lama. Dengan adanya pasal ini akan membantu dalam menjelaskan area tanggung jawab psikolog dan ilmuwan psikologi yang memiliki wewenang dalam menyusun terapi pada suatu program atau pengajaran. Informasi lainnya yang dapat dicantumkan dalam pasal ini adalah apakah psikolog dan ilmuwan psikologi memiliki hak dalam mengajar terapi yang disyaratkan, terutama dalam keadaan tertentu, seperti tidak tersedianya praktisi atau psikolog lainnya yang berkompeten dalam terapi tersebut. Apakah situasi ini diperbolehkan atau tidak. Oleh sebab itu, perlu diberikan penjelasan lebih lanjut mengenai sejauh mana keterlibatan psikolog dan ilmuwan psikologi baik yang menyusun terapi atau yang akan memberikan terapi tersebut.
Belum menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan pasal ini. Penjelasan lebih menekankan pada pasal 7 mengenai pelaksanaan kegiatan sesuai batas keahlian/kewenangan, khususnya pada sub pasal 7 b mengenai menghormati hak orang/lembaga/organisasi/institusi lain (hal 43; 7.2. pasal 7 b; 7.2.1).

Dalam pasal ini dijelaskan bahwa wewenang psikolog dan ilmuwan psikologi dalam mengembangkan, menyusun dan melaksanakan program pendidikan, pelatihan dan pengajaran dimana dalam harus sesuai dengan kemampuan, kompetensi dan sertifikasi yang dimilikinya. Sub pasal ini belum menjelaskan mengenai aturan mengenai pemberian terapi dalam suatu program atau pengajaran.
Belum mencantumkan pasal yang serupa seperti di draft kode etik baru. Namun, pada prinsip 1 mengenai respect for the dignity of persons (menghormati kehormatan orang lain) pada salah satu sub pasalnya yang menjelaskan bahwa psikolog harus bersikap adil dalam mencari desain riset, kegiatan mengajar, praktisi dan bisnis secara adil dalam memberikan manfaat pada individu dan kelompok dan tidak membahayakan atau merugikan mereka (hal 10; I.11).
Pasal 41
Penilai Kinerja Peserta Pendidikan dan Pelatihan atau Bawahan


(1)









(2)








Pasal ini menjelaskan mengenai psikolog dan ilmuwan psikolog yang memiliki tanggung jawab dalam melakukan penilaian pada mahasiswa yang dibimbingnya atau bawahan yang disupervisi olehnya. Penilaian tersebut harus ditetapkan dalam proses yang spesifik dan berjadwal.



Pasal ini menjelaskan mengenai dalam melakukan evaluasi kinerja mahasiswa, orang yang disupervisi dan bawahan berdasarkan pada persyaratan yang relevan dan telah ditetapkan sebelumnya.






Pasal ini tidak menjelaskan mengenai hal-hal lain yang berkaitan dengan pelaksanaan evaluasi pada mahasiswa, seperti proses membangun hubungan yang kondusif dalam melakukan penilaian. Penjelasan ini dicantumkan pada kode etik lama sehingga dapat membantu psikolog dan ilmuwan psikologi dalam melakukan evaluasi.








Pasal ini telah dimasukkan ke dalam kode etik lama pada pasal 7 pelaksanaan kegiatan sesuai batas keahlian/kewenangan (hal 46; i)yang menjelaskan mengenai evaluasi yang dilakukan oleh psikolog dan ilmuwan psikologi pada peserta didikan atau orang yang dibimbingnya berdasarkan kinerjanya secara nyata dan ada relevansinya dengan persyaratan yang ditentukan oleh program. Dalam pasal 7 ini pada sub bab h (hal 46) juga dijelaskan mengenai psikolog dan ilmuwan psikologi membangun hubungan yang kondusif dalam mendukung dilakukannya evaluasi peserta didikan atau orang yang dibimbingnya.









Tema yang serupa pada pasal ini dibahas pada prinsip 1 mengenai respect for the dignity of persons (menghormati kehormatan orang lain) yang pada salah satu sub pasalnya menjelaskan bahwa psikolog membantu dalam menyusun dan dilaksanakan pada proses yang adil atau prosedur lainnya yang adil mengenai kepegawaian, evaluasi, pengambilan keputusan, tajuk rencana dan review kegiatan dari rekan seprofesi (hal 10; I.13). Selain itu, pada prinsip 2 mengenai responsible caring (perhatian yang bertanggung jawab) pada salah satu sub pasalnya menjelaskan bahwa psikolog memfasilitasi pengembangan yang ilmiah dan profesional pada pekerja, mahasiswa, peserta didikan dan orang yang disupervisi dengan menyediakan salah satunya evaluasi yang teratur (hal 18; II.25).
Pasal 42
Keakraban Seksual Dengan Peserta Pendidikan dan Pelatihan atau Orang yang Disupervisi

(1)




















(2)











Pasal ini menjelaskan dilarangnya psikolog dan ilmuwan psikologi untuk terlibat dalam keakraban seksual dengan peserta didik, bawahan yang disupervisi atau dengan orang yang bekerja dalam institusi yang sama dengan psikolog dan ilmuwan psikologi.















Pasal ini juga menjelaskan bahwa jika hal tersebut terjadi karena berbagai hal, maka tanggung jawab psikolog dan ilmuwan psikologi harus dipindahkan kepada psikolog lain yang memiliki hubungan yang netral dimana hal ini bertujuan untuk menjaga keobjektifan dan meminimalkan kemungkinan-kemungkinan negatif pada semua pihak yang terlibat.





Istilah keakraban seksual pada pasal ini belum dijelaskan secara spesifik sehingga menimbulkan pemahaman yang berbeda. Selain itu, gambaran yang spesifik tersebut akan membantu psikolog dan ilmuwan psikologi dapat mengidentifikasi dengan tepat perilaku-perilaku yang tergolong ke dalam keakraban seksual.









Menjelaskan penggambaran situasi hubungan kerja yang diperbolehkan pada profesi psikolog dan ilmuwan psikologi dijelaskan pada pasal 8 mengenai sikap profesional dan perlakuan terhadap pemakai jasa atau klien (hal 60), terutama pada sub pasal mengenai hubungan yang mengandung unsur eksploitasi (hal 67-68; 8.3.5). Dalam sub pasal ini psikolog dan ilmuwan psikologi dilarang melakukan eksploitasi pada mahasiswa yang dibimbingnya dan dilarang terjadinya hubungan seksual dengan pribadi yang mereka supervisi, evaluasi atau di bawah wewenang mereka. Namun, bentuk-bentuk eksploitasi tidak dijelaskan secara spesifik sehingga juga menyebabkan pemahaman yang berbeda.

Dijelaskan dalam pasal 6 mengenai hubungan dengan profesi lain, pada sub pasal 6.2 (hal 40-41) mengenai permintaan jasa pihak ketiga yang dilakukan jika psikolog dan ilmuwan psikologi melibatkan jasa ketiga dalam memberikan jasa kepada kliennya. Sedangkan mengenai pelanggaran dijelaskan pada pasal 17 (hal 21) hanya dijelaskan secara umum, tidak spesifik sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan.

Dengan merujuk pada kode etik lama apakah keakraban seksual termasuk ke dalam eksploitasi yang dijelaskan pada sub pasal di atas. Perbedaan istilah ini sebaiknya dijelaskan untuk menyamakan pemahaman pengguna kode etik. Padahal tema tentang eksploitasi telah dibahas pada draft kode etik baru pada bab IV mengenai hubungan antar manusia.









Dibahas pada prinsip 2 mengenai responsible caring (perhatian yang bertanggung jawab) pada sub pasal II. 28 (hal 18) yang menyebutkan psikolog dilarang untuk mengajak atau mendorong terjadinya sexual intimacy (keakraban seksual)pada mahasiswa atau peserta didikan yang dievaluasi atau dibawah wewenang psikolog. Namun, tidak dijelaskan secara spesifik mengenai gambaran sexual intimacy. 
















Kajian BAB VIII

Bab ini sangat membantu dalam menjelaskan kode etik pada pelaksanaan pendidikan dan pelatihan dimana saat ini area tersebut sangat melibatkan peran psikolog dan ilmuwan psikologi. Dengan adanya bab ini, psikolog dan ilmuwan psikologi dapat mengetahui sejauh mana wewenang yang dapat mereka lakukan dalam pendidikan dan pelatihan yang sesuai dengan kode etik. Penjelasan bab ini lebih menekankan pada pelaksanaan pendidikan dan pelatihan yang terkait dengan jasa yang dapat diberikan oleh psikolog dan ilmuwan psikologi. Mungkin dapat ditambahkan mengenai pelaksanaan program pendidikan yang tidak termasuk dalam jasa yang diberikan oleh psikolog dan ilmuwan psikologi. Apakah hal ini juga butuh untuk dijelaskan dalam kode etik, mengingat kenyataan di lapangan, terdapat psikolog dan ilmuwan psikologi yang memberikan topik selain terapi. Selain itu, bagaimana dengan pelaksanaan psikolog dan ilmuwan psikologi yang memberikan jasa di pendidikan dan pelatihan yang tidak sesuai dengan kompetensi, pengalaman dan sertifikasi yang dimilikinya. Tak hanya pada aspek perancangan, melainkan pada aspek pihak yang memberikan topik pendidikan dan pelatihan tersebut. Dengan demikian, pelanggaran kode etik yang diakomodasi oleh pasal ini tidak hanya mengenai keakraban seksual, melainkan juga mengenai pelaksanaan pendidikan dan pelatihan itu sendiri.


1 komentar:
Write komentar
  1. kolomnya kepotong, bisa ada yg gak kepotong? buat tugas nih...makasih

    BalasHapus